Jumat, 29 April 2016

Jelas saja aku berubah. Hanya kau saja yang tak memperhatikannya.” Aku kembali menatap gumpalan awan di langit kemerahan senja. Sebersit harapan muncul. Melewati senja bersama Adrian dengan statusku yang bukan lagi sahabatnya. Namun, kekasihnya. Tapi aku tau. Itu tidak akan mungkin terjadi. Persahabatan ini terlalu suci, menurutnya. 
“Wah! Ternyata sahabatku ini telah berubah. Berapa banyak cerita yang aku lewatkan?” Adrian memandangku dengan tatapan berseri. 
Cih. Sekeras apapun dia memohon. Aku tak akan pernah menceritakan cerita menarik sekaligus menyakitkan ini. cukup aku dan Tuhan yang tau. Aku tak ingin orang lain tau. Aku lebih senang seperti ini. berbahagia dalam diam. Juga, bersedih dalam diam. Itu menarik, kan? 
“Jelas saja kau tak pernah melewatkan satu pun ceritaku. Bukan itu maksudku. Apa kau tak sadar jika rambutku sudah berubah memanjang? Tak seperti dulu. Eh?” 
“Ah iya. Tapi, matamu tak bisa berbohong. Jujurlah. Pasti ada suatu cerita yang aku lewatkan. Ya?”  Ternyata kemampuannya membaca fikiran orang lain melalui pandangan mata belum hilang. Oh Tuhan. Dia tidak berubah. Hanya aku saja yang berubah.
“Ya. dan kau tak perlu tau.” 
“Cih. Aku sahabatmu, jelas saja aku perlu mengetahui pertumbuhan sahabatku yang mulai dewasa ini.” Adrian, bahkan aku bukan sedang bertumbuh lagi. Aku benar-benar sudah dewasa. Aku sudah merasakan cinta. Juga, sakitnya cinta. 
“Jangan remehkan aku. Jelas aku lebih dewasa.” 
“Dan aku tak kalah dewasa denganmu. Aku bahkan sudah mengenal cinta. Kau? Rasanya aneh orang sepertimu mengerti cinta.” 
Entah apa ini. tubuhku terasa lemas. Benar-benar lemas setelah mendengar ucapannya tadi. Dia mengenal cinta? 
“Ternyata kau menyembunyikan ceritamu juga.” 
Aku lihat Adrian tersenyum tipis. Namun, tetap saja tak bisa menghilangkan rasa cemasku. Rasa cemas yang mendalam akan kehilangannya ketika ia mulai mengenal lima huruf menyakitkan itu. Apa aku egois? 
“Ternyata aku belum menceritakannya padamu.” Adrian menarik nafas sejenak lalu mengeluarkannya dengan sedikit kasar sebelum kembali berbicara  “Aku menyukai Cindy dan ternyata, Cindy juga menyukaiku. Kita sepasang kekasih sekarang” 
Deg! Semua seolah hancur. Bak Titanic yang berkeping-keping setelah menabrak karang. Aku hancur. 
“Oh.” 
Senin, 6 Januari 2014
Setelah mendengar pengakuannya senja kemarin, aku tak ingin menemuinya. Dan anehnya, Adrian sama sekali tak mencariku. Hanya tadi pagi ia menghampiriku untuk berangkat bersama. Namun, aku tolak. Aku tak ingin lagi mendapatkan tatapan tajamnya, gandengan tangannya, ataupun semua tentangnya. Ya, aku memang senang ketika Adrian melakukan itu padaku. Tapi itu menyakitkanku. Semua yang dilakukannya layaknya harapan besar yang sengaja diberikannya untukku. Padahal sebenarnya, itu hal yang sudah lumrah dilakukannya sejak Sembilan tahun lalu. Sejak Adrian memulai persahabatan ini. persahabatan yang menurutnya akan abadi selamanya. Persahabatan yang menurutnya terlalu suci untuk dihancurkan. Dan persahabatan yang membuatnya berjanji tak akan mencintaiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar