“Wah! Ternyata sahabatku ini telah berubah. Berapa banyak cerita yang aku lewatkan?” Adrian memandangku dengan tatapan berseri.
Cih. Sekeras apapun dia memohon. Aku tak akan pernah menceritakan cerita
menarik sekaligus menyakitkan ini. cukup aku dan Tuhan yang tau. Aku
tak ingin orang lain tau. Aku lebih senang seperti ini. berbahagia dalam
diam. Juga, bersedih dalam diam. Itu menarik, kan?
“Jelas saja kau tak pernah melewatkan satu pun ceritaku. Bukan itu
maksudku. Apa kau tak sadar jika rambutku sudah berubah memanjang? Tak
seperti dulu. Eh?”
“Ah iya. Tapi, matamu tak bisa berbohong. Jujurlah. Pasti ada suatu
cerita yang aku lewatkan. Ya?” Ternyata kemampuannya membaca fikiran
orang lain melalui pandangan mata belum hilang. Oh Tuhan. Dia tidak
berubah. Hanya aku saja yang berubah.
“Ya. dan kau tak perlu tau.”
“Cih. Aku sahabatmu, jelas saja aku perlu mengetahui pertumbuhan
sahabatku yang mulai dewasa ini.” Adrian, bahkan aku bukan sedang
bertumbuh lagi. Aku benar-benar sudah dewasa. Aku sudah merasakan cinta.
Juga, sakitnya cinta.
“Jangan remehkan aku. Jelas aku lebih dewasa.”
“Dan aku tak kalah dewasa denganmu. Aku bahkan sudah mengenal cinta. Kau? Rasanya aneh orang sepertimu mengerti cinta.”
Entah apa ini. tubuhku terasa lemas. Benar-benar lemas setelah mendengar ucapannya tadi. Dia mengenal cinta?
“Ternyata kau menyembunyikan ceritamu juga.”
Aku lihat Adrian tersenyum tipis. Namun, tetap saja tak bisa
menghilangkan rasa cemasku. Rasa cemas yang mendalam akan kehilangannya
ketika ia mulai mengenal lima huruf menyakitkan itu. Apa aku egois?
“Ternyata aku belum menceritakannya padamu.” Adrian menarik nafas
sejenak lalu mengeluarkannya dengan sedikit kasar sebelum kembali
berbicara “Aku menyukai Cindy dan ternyata, Cindy juga menyukaiku. Kita
sepasang kekasih sekarang”
Deg! Semua seolah hancur. Bak Titanic yang berkeping-keping setelah menabrak karang. Aku hancur.
“Oh.”
Senin, 6 Januari 2014
Setelah mendengar pengakuannya senja kemarin, aku tak ingin menemuinya.
Dan anehnya, Adrian sama sekali tak mencariku. Hanya tadi pagi ia
menghampiriku untuk berangkat bersama. Namun, aku tolak. Aku tak ingin
lagi mendapatkan tatapan tajamnya, gandengan tangannya, ataupun semua
tentangnya. Ya, aku memang senang ketika Adrian melakukan itu padaku.
Tapi itu menyakitkanku. Semua yang dilakukannya layaknya harapan besar
yang sengaja diberikannya untukku. Padahal sebenarnya, itu hal yang
sudah lumrah dilakukannya sejak Sembilan tahun lalu. Sejak Adrian
memulai persahabatan ini. persahabatan yang menurutnya akan abadi
selamanya. Persahabatan yang menurutnya terlalu suci untuk dihancurkan.
Dan persahabatan yang membuatnya berjanji tak akan mencintaiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar