Aku tak pernah menyangka semua ini akan terjadi.
Jika aku boleh berharap,
Aku lebih ingin kita seperti 9 tahun lalu.
Tak mengenal cinta.
Yang ada hanya kita yang terus memperjuangkan persahabatan yang kita punya. –Niki
Minggu, 4 Januari 2014
Pagi itu, mentari bersinar dengan terik. Namun, tetap ada awan yang
sedikit mengahalangi teriknya sinar mentari. Aku terduduk disebuah
bangku taman yang masih sejuk. Bahkan, embun masih melembabi dedaunan
bunga-bunga ditaman ini. Disampingku, terduduk seseorang yang selama
Sembilan tahun belakangan ini selalu bersamaku. Setiap saat. Tidak
pernah tidak. Adrian. Sahabatku, sahabat baikku. Tapi saat ini, apa dia
benar-benar hanya sahabatku? Tuluskah aku saat mengenalkannya pada
mereka –teman-temanku hanya sebatas sahabat? Aku ... kurang.... yakin..
“Kamu masih betah disini, ki? Matahari udah mulai terik, nih!” Adrian menggerutu. Sembari menatapku tajam namun tak ada arti.
Deg!
Sembilan tahun lalu, ketika aku dan dia masih berumur lima tahun aku
selalu membenci tatapan ini. Aku selalu memukul atau paling baiknya
mengomel ketika Adrian menatapku seperti ini. Namun sekarang, semua
berbeda. Entah aku atau Adrian yang berubah aku tak tahu. Yang jelas,
aku selalu ingin bertahan dalam waktu ini saat dia menatapku.
“Niki! Kok malah melamun, sih!”
“Eh, em... maaf. Ya udah, ayo pulang. Aku juga udah laper. Hehe...”
Adrian tak bicara lagi. Dia beranjak lalu menggaet tanganku untuk segera
meninggalkan taman ini. hatiku berdesir. Dalam diam, aku meresapi
kebahagiaan ini. Tanpa siapapun boleh mengetahui kebahagiaanku. Hanya
aku dan Tuhan. Tak ada yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar