Jumat, 29 April 2016

Seketika

Setelah mendengar pengakuannya senja kemarin, aku tak ingin menemuinya. Dan anehnya, Adrian sama sekali tak mencariku. Hanya tadi pagi ia menghampiriku untuk berangkat bersama. Namun, aku tolak. Aku tak ingin lagi mendapatkan tatapan tajamnya, gandengan tangannya, ataupun semua tentangnya. Ya, aku memang senang ketika Adrian melakukan itu padaku. Tapi itu menyakitkanku. Semua yang dilakukannya layaknya harapan besar yang sengaja diberikannya untukku. Padahal sebenarnya, itu hal yang sudah lumrah dilakukannya sejak Sembilan tahun lalu. Sejak Adrian memulai persahabatan ini. persahabatan yang menurutnya akan abadi selamanya. Persahabatan yang menurutnya terlalu suci untuk dihancurkan. Dan persahabatan yang membuatnya berjanji tak akan mencintaiku. 
Seketika, manic mataku tertuju pada setangkai bunga yang merekah indah di halam rumahku. Melalui jendela besar kamarku ini, aku selalu bisa mengintai halaman rumahku sambil bersembunyi. Dan tak ada siapapun tau. Em, seperti ... perasaan aneh ini terhadap Adrian. Sahabatku. 
Dalam diam, aku menangis. Bukan menyesali persahabatanku dengan Adrian. Namun, menyesali perasaan aneh yang akan makin menyakitkan ketika itu tumbuh. Dalam diam juga, aku menyadari bahwa semua ini adalah pelajaran. Agar aku dapat merasakan. Bagaimana sakitnya hati ini ketika aku mengetahui Adrian menyukai orang lain. Bagaimana pedihnya hati ini ketika harus merelakannya mengejar apa yang dia inginkan dan tidak aku inginkan. Aku tak boleh egois. Persahabatan ini harus tetap tumbuh walau disini aku tersakiti. Benar kata Adrian, persahabatan ini terlalu suci untuk dihancurkan. Detik ini, aku menyadari apa arti cinta yang sesungguhnya. Mengerti dan memahami. Mengerti Adrian yang ternyata menyukai Cindy dan hanya menganggapku sahabat, tak lebih dan tak akan lebih. Memahami hati Adrian yang telah luluh oleh Cindy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar