Setelah mendengar pengakuannya senja kemarin, aku tak ingin menemuinya.
Dan anehnya, Adrian sama sekali tak mencariku. Hanya tadi pagi ia
menghampiriku untuk berangkat bersama. Namun, aku tolak. Aku tak ingin
lagi mendapatkan tatapan tajamnya, gandengan tangannya, ataupun semua
tentangnya. Ya, aku memang senang ketika Adrian melakukan itu padaku.
Tapi itu menyakitkanku. Semua yang dilakukannya layaknya harapan besar
yang sengaja diberikannya untukku. Padahal sebenarnya, itu hal yang
sudah lumrah dilakukannya sejak Sembilan tahun lalu. Sejak Adrian
memulai persahabatan ini. persahabatan yang menurutnya akan abadi
selamanya. Persahabatan yang menurutnya terlalu suci untuk dihancurkan.
Dan persahabatan yang membuatnya berjanji tak akan mencintaiku.
Seketika, manic mataku tertuju pada setangkai bunga yang merekah indah
di halam rumahku. Melalui jendela besar kamarku ini, aku selalu bisa
mengintai halaman rumahku sambil bersembunyi. Dan tak ada siapapun tau.
Em, seperti ... perasaan aneh ini terhadap Adrian. Sahabatku.
Dalam diam, aku menangis. Bukan menyesali persahabatanku dengan Adrian.
Namun, menyesali perasaan aneh yang akan makin menyakitkan ketika itu
tumbuh. Dalam diam juga, aku menyadari bahwa semua ini adalah pelajaran.
Agar aku dapat merasakan. Bagaimana sakitnya hati ini ketika aku
mengetahui Adrian menyukai orang lain. Bagaimana pedihnya hati ini
ketika harus merelakannya mengejar apa yang dia inginkan dan tidak aku
inginkan. Aku tak boleh egois. Persahabatan ini harus tetap tumbuh walau
disini aku tersakiti. Benar kata Adrian, persahabatan ini terlalu suci
untuk dihancurkan. Detik ini, aku menyadari apa arti cinta yang
sesungguhnya. Mengerti dan memahami. Mengerti Adrian yang ternyata
menyukai Cindy dan hanya menganggapku sahabat, tak lebih dan tak akan
lebih. Memahami hati Adrian yang telah luluh oleh Cindy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar